Kembang Api di Tepi Langit Amman
Oleh: Dina Pertiwi
Angin sahara bertiup
lembut, membelai penuh kasih kepada pori-pori yang terbuka. Menyapu permukaan
gurun-gurun, menerbangkan pasir halus jauh, jauh hingga sampai di ujung temaram
kota. Perlahan-lahan, lampu jalan menyala satu persatu. Pun juga lampu
gedung-gedung tinggi, atau sekedar lampu rumah fakir bersahaja di sudut kota.
Amman malam itu terasa
lengang, nyaris seperti rasa dari kota mati. Padahal, tidak satu malam pun
kesunyian pernah melanda kota tersebut. Sebetulnya malam ini juga tidak sunyi.
Mobil-mobil tetap lalu lalang di jalan, kios-kios penuh lampu menjual berbagai
jenis makanan khas Timur Tengah yang terkenal. Kebab, humus, roti gandum.
Pemuda-pemuda metropolitan juga berjalan di trotoar kota, dengan gelas kopi di
kanan dan gadget di kiri tangan
mereka. Tapi, suasana kesepian menggantung di langit-langit bumi Yordan itu.
Hana kecil memandang ke arah barat kota dari jendela besar di kamarnya yang terbuka. Mata kecilnya mengedip-ngedip. Sesekali dia bertepuk tangan dengan kagum dan tertawa. Rambut panjangnya yang hitam
berkelebatan tertiup angin padang pasir.Dalam bola mata Hana
yang cokelat, sebuah cahaya kemerahan terlihat kemudian padam. Terlihat lagi
dan kemudian padam. Bias-bias cahaya merah dan jingga membuat balita itu
bersiul senang. Langit kota, tidak pernah seindah itu.
Hana tidak tahu bahwa
kesunyian menggantung pekat dan menyusupkan banyak ketakutan dalam hati
penduduknya. Mana dia tahu kalau dia baru berusia empat setengah tahun?
Amman adalah kota tua
yang indah sekali. Hana selalu mengagumi Amman, meskipun bangunan cokelatnya
terasa gersang dan panasnya matahari Timur Tengah membuatnya sebal, tapi Amman tetap indah. Terutama Taman
King Abdullah yang rutin ia kunjungi setiap minggu bersama Ummi dan Abi.
Gadis-gadis penjual
kopi yang tersenyum manis, aroma pasir yang terpanggang, bangunan-bangunan
kuno. Amman adalah kota yang sempurna bagi Hana. Hana selalu suka segala hal
tentang Amman.
Tapi, yang paling Hana
suka adalah malam-malam di mana langit Amman yang biasanya gelap mendadak
mendapat coretan jingga dan merah membara di ujung sana. Seperti dinding
rumahnya yang ia gambari macam-macam dengan krayon hadiah Abi ketika dia fasih
menghafal 10 juz Al-Qur’an enam bulan lalu.
Malam-malam seperti
itu, sering Hana dapati, tetapi tidak bisa ia prediksi.
Kadang-kadang seminggu
tiga kali, kadang tiap malam atau kalau Hana sedang tidak beruntung, seminggu
itu tidak ada sama sekali.
Atmosfer yang ada jika
coretan jingga di langit malam pun berbeda. Sama sekali berbeda. Cenderung
lebih dingin dan sunyi. Seolah-olah kepedihan ditumpahkan di seluruh kota.
Orang-orang dewasa selalu mengucap Inna
Lillahi Wa Inna Ilaihi Roji’uun setiap kali langit di ujung-ujung Yordania
membara. Menyala seperti kembang api.
Nah, benar.
Kembang api!
Cahaya yang dicoret di
langit itu kembang api! Hana pernah melihatnya di televisi dan menemukan hal
yang sama persis. Itu kembang api yang cantik. Mungkin kembang api yang di
bakar itu lebih besar dari yang pernah dia lihat di tivi (keluarga Hana tidak
pernah membeli kembang api sekeras apa pun ia meminta).
Mungkin,
orang dewasa tidak suka kembang api,
pikir gadis kecil itu, mereka selalu
murung kalau kembang api itu menyala. Malah mengucapkan hal yang suram seperti
ada orang mati saja. Padahal, itu hanya kembang api.
Pintu kamarnya yang
berat di dorong.
Hana bisa mendengar
suara langkah yang lemah lembut. Pasti Ummi. Suara langkah Abi selalu berat dan
tergesa-gesa. Kata Ummi, itu karena Abi selalu berjalan di pasar ketika
berdagang.
“Hana,” suara lembut
yang penuh kasih sayang itu menyapa telinga Hana yang dingin tertiup angin
gurun.
“Sedang apa? Kenapa
belum tidur?”
“Ummi, lihat,” Hana
kecil menunjuk-nunjuk dengan antusias ke arah langit, “Lihat kembang api itu,
Ummi.”
“Kembang api?” Ummu
Hana mengerutkan kening.
Seingatnya Jerash
Festival baru lima bulan lagi akan diadakan. Tahun baru juga telah lewat. Orang
macam apa yang menghidupkan kembang api pada masa-masa sekarang? Pada waktu
yang seperti ini, menyalakan kembang api hanya akan menambah kesuraman
langit-langit di negara-negara Syam.
“Ummi , lihatlah. Itu
indah sekali,” Hana kecil memaksa.
Ummu Hana mendekatinya
dan membawa gadis kecil itu ke dalam gendongan, kemudian dia melihat arah yang
ditunjuk oleh anak perempuannya. Di sana, jarak satu jam dari Amman, terlihat
sisa-sisa kembang api yang dikatakan oleh anaknya. Ummu Hana terkesiap.
“Hana senang sekali
melihat kembang api itu. Malam-malam terakhir, kembang api itu menyala hampir
setiap malam. Bagus sekali.”
Ummu Hana menghela
nafas. Dia tidak tahu harus mengatakan apa pada Hana yang memandang langit
Amman, menanti sesuatu yang dia sebut kembang api untuk menyala. Dia ingin
mengatakan bahwa itu bukan kembang api, melainkan ledakan yang membunuh ribuan
saudaranya di negeri seberang.
“Hana, itu bukan
kembang api, Nak.”
Hana mengerjap, “Bukan?
Terus apa, Ummi?”
“Hem,” Ummu Hana
berpikir, “Itu adalah cahaya kematian, Sayang.”
“Cahaya kematian? Itu
apa Ummi?”
“Cahaya kematian itu
adalah cahaya yang mirip kembang api, tapi dia tidak menyenangkan. Cahaya
kematian itu sekali menyala, bisa mengambil nyawa ratusan orang, Nak.”
“Kenapa seperti itu?”
Ummu Hana mengecup
puncak kepala Hana dan membawanya ke tempat tidur. Beliau membaringkan anak
gadisnya dan mengelus poni anaknya dengan sayang.
“Mereka bertengkar. Ada
beberapa orang yang tidak setuju dan bertengkar.”
Mata Hana melebar,
“Mereka menggunakan kembang api untuk bertengkar, Ummi?”
“Bukan kembang api,
Sayang. Cahaya kematian, Nak.”
Hana melamun. Dia
menatap langit-langit kamarnya yang berwarna cokelat, sewarna pasir padang
pasir. Membayangkan kembang api yang dia lihat itu dibuat untuk bertengkar.
Hana tidak mengerti
dunia orang dewasa. Mereka membuat barang yang cantik untuk membuat orang lain
mati. Orang-orang dewasa itu sungguh mengerikan.
“Hana suka kembang api
itu, Ummi,” ucapnya sambil merengut, “Tapi Hana enggak suka dengar kalau orang
lain meninggal.”
Ummu Hana tersenyum.
Dia mengecup puncak kepala anaknya sekali lagi dan mengelus-elus rambutnya
dengan lembut. Cahaya-cahaya di ujung langit Amman terlihat lagi, tapi Hana nya
sudah tidur.
Ummu Hana melihat
langit yang seperti kanvas hitam di basuh cat jingga. Di mata anak-anak macam
Hana, itu memang indah. Tapi di mata orang dewasa seperti dirinya, itu
mengundang banyak kesedihan yang membelit hatinya.
Mata anak-anak hanya bisa menangkap keindahan.
Mata orang dewasa membuat semua keindahan itu menjadi tragedi.
Ummu Hana tersenyum
lemah. Dia memandang wajah anak perempuannya yang penuh bekas luka.
Andai Hana tahu. Andai
Hana tahu kalau dia nyaris menjadi korban ke sekian dari perang saudara di
Suriah sebelum diselamatkan seorang relawan dan akhirnya menjadi anak asuhnya.
Andai gadis cantik itu
tahu kalau orangtuanya direnggut darinya dengan cahaya jingga itu, pasti Hana
tidak akan pernah menyukai kembang api di ujung langit Amman itu.
Asahan, 25 Januari 2018
____________________
Dina Pertiwi lahir pada Agustus 1996 di sebuah tempat di pedesaan Sumatera Utara. Memiliki hobi membaca sejak kecil dan berobsesi menjadi penulis. Dia berharap dunia bersiap-siap untuk menyambut seluruh karyanya.
Komentar
Posting Komentar