Oleh: Anggi Nugraha
Aku tak tahu persis bagaimana dalam prosesnya hujan membuat dunia menjadi
lebih indah. Terlebih jika pelangi mewarnai setelahnya. Harum “petrichor[1]” selalu menusuk
rongga hidung, memaksaku untuk sejenak merenung. Sedari dulu, setelah hujan
adalah waktu yang paling kusuka untuk merenung. Di dalamnya ada berjuta pesona.
Terlebih lagi jika aku bisa melihat pelangi. Jika tidak pun, aku akan
melukisnya dengan imaji. Di ujungnya berharap aku bisa melihat bagaimana para
bidadari turun ke bumi. Entah di laut mana, atau sungai yang mana ia menyuci
diri, masih menjadi misteri.
Sore ini
beruntung, aku masih kebagian wangi petrichor
itu. Sudah lama kami merindu November. Berjuta kesah tumpah ruah di bumi,
dihisap oleh terik mentari, digumulkannya tuk sekian lama, hingga kesah itu diturunkan-Nya
lewat kisah. Kisah di mana teriakan orang-orang yang merindu air. “Hore
hujan!”, Alhamdulillah hujan!”, begitulah yang terdengar beberapa hari dalam
seminggu ini.
Usiaku mungkin
tak muda lagi. Nanti malam, pukul 2:30, jika langit masih memuntahkan isi
perutnya, genap usiaku enam puluh tahun. Aku ingat almarhum Ibu
memberitahukanku ihwal itu. Mungkin itu juga sebabnya kenapa aku menjadi
perindu hujan. Karena hujan menjadi saksi enam puluh tahun yang lalu di sebuah
desa di Pulau Jawa, seorang yang kini hidup sendiri itu dilahirkan. Aku.
Bagiku,
kesendirian itu hal yang menyenangkan. Tidak mengganggu, juga tidak diganggu.
Sudah lama aku hidup seperti ini. Namun, aku tak merasa sepi. Sepi, bagiku,
ketika aku tidak bisa menghirup wangi petrichor.
Sepi itu pada saat aku tak dibelai basah. Entah mengapa, sampai detik ini,
misteri itu selalu menjadi realita. Kata-katamu, sumpah-sumpahmu, benar-benar
terbukti. Aku seperti ini.
Taukah kau, apa
yang terjadi pada saat hujan tak kunjung turun? Hidupku bagai bramacorah yang
diburu sejuta serdadu. Resah, gelisah. Meski keberanian setinggi langit,
bramacorah selalu takut mati dalam kekonyolan. Begitulah aku. Itu yang kurasa
kini. Sungguh berbeda kala dulu aku belum mengenalmu. Hujan atau tidak, itu
sama saja.
Mungkin sudah
titah Tuhan yang memerintah kedua ruh kita menggerakkan raga untuk saling
bertemu. Di sebuah kekeringan. Di sebuah kerinduan akan air hujan. Di mana
tanah sawah terpecah-belah. Di dalamnya ada ikan khutuk[2] kembang-kempis bernapas
dengan labirinnya. Andai hari itu tidak hujan, hari itu juga ia akan mati.
Begitu pun kita berdua pada sore itu. Setelah hampir satu tahun lamanya hujan
tak kunjung datang, akhirnya Tuhan berbaik hati.
Aku melampiaskan
sukacita itu dengan bermandi hujan. Bersama kerabat, mencumbu petrichor. Saling lempar,
sudahnya kami bilas dengan derasnya hujan itu sendiri. Tentu kau masih ingat
kenangan itu, bukan? Kaulah satu-satunya yang tersenyum di sudut sana. Melihat
para lelaki bertingkah-polah seperti anak kecil. Apa mungkin saat itu kita
masih kecil? Mungkin juga memang masih kecil. Atau, baru beranjak meninggalkan
fase menjadi anak kecil? Itu dulu, saat kau menunggu hujan reda di sudut sana.
Di sebuah warung yang tak mewah milik Mbok Minah. Hingga akhirnya aku dengar
panggilanmu itu, “Wiryo!”. Tanpa pikir panjang, aku berlari ke arahmu dan
kuseret paksa kau untuk ambil bagian dalam pesta rindu itu. Kau tampak
malu-malu. Atau juga kau takut bila keesokan jatuh sakit dan tak bisa berjualan
peuyeum buatan orang tuamu. Tapi, aku
tak mau tahu.
Benar saja,
keesokan, tidak kudengar suaramu melewati pagar rumahku. Aku masih ingat betapa
suara khasmu itu bisa meloncati pagar tinggi rumahku, lalu perlahan mencari
celah tersempit dari bangunan rumah bergaya Eropa yang dibeli orang tuaku dari
seorang keturunan Belanda. Lalu, ia masuk dan mencari di mana gerangan pemilik
telinga itu berada. Namun, tetap saja, sedari kecil, jika aku ingin sesuatu,
Ibu menahanku untuk tidak beranjak. Termasuk setelah waktu itu, kau sudah
tampak lebih anggun dengan usia yang lebih matang, berkeliling sedari kau kecil
menjualkan peuyeum buatan orangtuamu.
Aku tak paham apa mau Ibu. Ia hanya bilang, “Wes
neng jobo wae, Le.. biar si Mbok sing nukokke peuyeum. Cah lanang gak apik metu
gor tuku panganan koyok kuwi!”. Bagiku, penganan yang kau jualkan itu bukan
sekadar nikmat. Tentunya diolah lagi dengan campuran tepung terigu, setelahnya
direndam dalam minyak yang mendidih. Peuyeum,
atau tape, atau apalah itu namanya,
akan selalu menjadi penganan ternikmat sembari menikmati hujan.
Sedari hari itu,
aku menjadi lebih berani. Tanpa sepengetahuan Ibu, aku sering keluar rumah
hanya untuk bertemu denganmu. Kau paham betul, sedari kecil, aku hanya
dibolehkan keluar bersama kerabat-kerabatku itu. Satu-satunya waktu agak lama
ketika belajar mengaji di mushala Mbah Darmo. Termasuk pada hari itu, pada hari
ketika aku seret kau tuk menikmati turunnya hujan. Sewaktu pulang, di mana
tampak kau sedang berteduh di warung Mbok Minah sehabis berkeliling menjual peuyeum.
Ada
yang berbeda dulu ketika aku bicara tentangmu kepada Ibu. Wajah Ibu yang selalu
semringah itu mendadak ditekuk bila mendengar namamu dari bibirku. Aku tak tahu
persis apa yang sebenarnya terjadi. Yang kutahu, Ibu dan Bapak adalah orang
yang bila bertemu dengan warga di kampung itu, mereka warga kampung, selalu
membungkukkan badan. Dan rasanya, aku tidak pernah mendengar panggilan “Raden,
atau Den” terucap dari bibir orang kampung itu kepada orang lain, kecuali Bapak
dan Ibu. Bapak dan Ibu sosok penyayang pada sesama. Tak terhitung berapa kali
ia membantu orang-orang miskin di kampungku itu. Tapi, aku heran, lagi-lagi
ketika aku bicara tentang keluargamu padanya, atau sekadar memperbincangkan
masalah peuyeum atau tape, mereka menjadi tak berminat.
Bahkan, lambat laun, aku dilarang menyebut makanan itu dengan sebutan peuyeum. “Kita orang Jawa, Le, nyebutnya tape, ojo peuyeum, ngerti kowe?”
begitulah kata Ibu.
***
Setelah lulusnya
aku dari sekolah tingkat atas, di mana di sana aku tinggal bersama Bude, aku
kembali ke kampung. Bude menawarkanku untuk melanjutkan kuliah ke Jakarta.
Tapi, tiga tahun bersekolah, aku kehilangan suaramu. Aku tidak mendapatkan
hujan bertemankan peuyeum buatan
orang tuamu itu di kota. Aku selalu bertanya pada teman-teman ihwal dirimu lewat
surat. Tentu kau juga masih ingat surat yang kukirim dulu. Meski aku yakin yang
membacanya bukan kau karena tercatat kau hanya bisa menghitung. Tapi, itu cukup
menjadi bukti bahwa aku menyukaimu, Euis. Hingga pada akhirnya kedua orangtuaku
naik pitam, pada saat aku ucapkan niat baikku tuk melamarmu. Ibu bersikeras
agar aku kuliah di Jakarta sebagaimana yang budeku pernah sarankan. Begitu juga
Bapak yang tidak setuju aku beristrikan selain dari keturunan Gajah Mada.
Lagi-lagi, hujan
selalu jadi saksi dalam hidupku. Menjadi teman dalam keganaranku. Begitu juga
dalam sukacitaku. Maafkan aku, Ibu, bila dulu aku harus pergi tanpa pamit.
Membuat Bapak dan Ibu, juga semua kerabat, kelimpungan mencariku. Bagiku, sosok
yang menyadarkanku akan berartinya hujan padaku itu, sangatlah berarti. Bukan
berarti Bapak dan Ibu tidak lebih berarti. Namun, aku manusia yang buta. Yang
meraba-raba mencari arti, apa itu cinta.
Dan kau, Euis,
seandainya hujan tidak turun malam itu, mungkin kita tidak menginjak kota itu.
Tuhan dengan hujan-Nya memudahkan kita pergi. Ah, tentu masih kau ingat betapa lebatnya hujan malam itu. Dengan
begitu, aku sangat leluasa keluar rumah pada saat semua sedang terlelap dalam
balutan selimut. Karena derasnya, tidak sedikut pun suara langkah kaki, atau
pun rengekan engsel pintu-pintu yang kubuka terdengar oleh mereka. Dan kau,
sudah menanti di ujung jalan. Ah,
kita memang remaja-remaja yang nakal ya?
***
Di pinggiran Kota
Surabaya kita tinggal bersama. Sebuah rumah kost yang kini disulap jadi
minimarket itu, dulu, jadi saksi pernikahan kita. Pernikahan yang sederhana.
Tidak ada orang tua kita di sana. Beruntung, seorang P3N berkenan menjadi wali
hakim. Dan malam itu, jadilah kita sepasang suami istri yang sah. Di sanalah,
untuk beberapa hari setelah itu, kita pernah bersumpah setia. Kita saling
berjanji tuk tidak pernah berpindah ke lain hati. “Jangan pernah mencintai
wanita lain selain aku!” itu katamu. Dan bodohnya, aku mengiyakannya. Pada
hari-hari itu juga kita berdebat tentang anak. Kau ingin dua anak, sedangkan
aku ingin empat. Ah..ternyata kita
juga suka bedebat.
Tapi, itu hanya
sekejap, Euis. Entah karena apa secepat itu kita berpisah. Apa karena kutukan
Ibu, kutukan Gajah Mada, atau memang suratan takdir? Yang pasti, hari itu, aku
kehilanganmu. Kehilangan sosok yang mengenalkan aku kepada hujan, kepada
peuyeum, juga kepada cinta. Aku menangis dalam hujan kala itu. Namun, tetap
saja orang-orang paham aku sedang bersedih. Hujan juga yang mengantarkan kau
bersatu dengan tanah. Perih jika harus mengenangnya, termasuk sore ini. Namun,
lagi-lagi, petrichor selalu
mengingatkan aku padamu. Juga pada kebodohanku yang membiarkanmu melangkahkan
kaki ke warung kala hujan turun. Yang kutahu, kau sudah tertelungkup tak
bernapas. Terpeleset di licinnya jalan. Kepalamu membentur sebuah batu. Darah
segar mengalir dari telinga, juga hidungmu. Jalanan itu menjadi merah
karenanya. Aku menyesal sekali, Euis. Tak kusangka secepat itu kau pergi. Tak
pernah terlintas sedetik pun jika sedari itu aku harus sendiri. Tanpamu.
Namun, setidaknya
kita pernah bersatu, Euis. Kita pernah menjadi remaja-remaja yang nakal itu.
Remaja yang menantang segala bentuk diskriminasi. Yang mungkin tidak banyak
tahu bahwa kita adalah pahlawan mereka-mereka yang kini bisa dengan nyaman
melakukannya. Bukankah di negeri ini pahlawan itu banyak yang tidak dikenal,
Euis? Kitalah salah satunya.
Dan, lihatlah
kini, Euis. Situasi menjadi lebih baik. Ada kedua orang tua mereka di sana. Tak
perlu wali hakim kala menikah. Tak perlu mengubah peuyeum dengan sebutan tape.
Begitu pun sebaliknya, tak perlu mengubah tape
menjadi peuyeum. Jasa kitakah
semua itu, Euis?
Namun, semenjak
kau pergi selamanya, aku merasa kesepian di Surabaya itu, Euis. Terlebih
kemarau lagi-lagi melanda. Satu-satunya yang dapat mendekatkan aku dengan kau
adalah basah. Hanyalah lembek lempung. Maka setelah tiga bulan sepeninggalmu,
kuputuskan secepatnya hijrah ke tempat ini. Satu-satunya daerah di negeri ini
yang akrab dengan hujan. Meski nanti malam, genap usiaku enam puluh, dan
orang-orang bilang aku gila, karena setua ini suka bermandi hujan sendirian.
Mereka bilang aku stress karena seuzur ini aku suka bermain lempung di halaman
rumah. Juga mereka bilang aku impotensi, homo, atau apalah itu, karena sedari
kau tinggalkanku dulu, tak pernah satu pun wanita memasuki gubukku. Namun,
cukuplah hujan jadi teman, juga sosok yang membelaku. Terlebih bila tercipta
bianglala setelahnya. Jika pun tidak, aku akan melukiskan bianglala itu lewat
imaji. Dari atasnya, perlahan turun seorang bidadari jelita. Bidadari itu
engkau, Euis. Tak perlu susah payah kukatakan kepada mereka bahwa aku pernah
punya wanita secantik kau, Euis. Wanita yang juga satu klan dengan orang-orang
di tempat ini. ***
Komentar
Posting Komentar