REGISTER 45
Oleh: FAJAR
Oleh: FAJAR
Debu yang
memburamkan jarak pandang itu memendar bagai sindora. Bergulung.
Menghempas. Gemeretak terlipat waktu umpama sepotong monumen tua yang berkarat.
Barisan bendera merah putih lusuh tampak mengibari tepi batas dan sudut-sudut
lantang. Berjejer laksana barisan pion pasukan Tar-tar saat menuju
persemayaman Jatakatwang.
Sebuah
sepeda motor tanpa kaca spion menyeruak di antara belukar ilalang.
Membawa sosok perempuan muda berwajah bulat telur di antara sengat
mentari yang jengah. Peluhnya gemerecikr. Pintalan debu menjadi iringan sketsa
yang terus bergeliat tiada senyap. Alam terus memburu sekehendak angin
membawanya.
Ini
siang di tanah Register 45 Mesuji.
Tempat
yang sebelumnya adalah hamparan Albasia nan menghampar tanpa batas itu, kini
adalah miniatur
negara dalam negara. Terbentang bagai savana. Sesak oleh gelora perlawanan
orang-orang yang kian tersulut.
Dalam
pelukan singit mentari, gaung itu makin menemukan bentuk hari demi hari.
Merentas. Berlapis bagai kibas sayap kupu-kupu yang patah; tentang
perlawanan yang berkobar bagai aliran lava; tentang legenda penegakan hak
yang terus menyuguhkan sengketa; juga tentang pertentangan
alam bawah sadar yang gegap sesempit lubang jarum.
Pemukiman
liar itu kini adalah kisah pahit.
Maka
siapa pun yang menatap ke sana, akan segera tergiring pada satu titik tanpa
batas. Bahwa, gelora itu masih akan terus membakar. Bergolak.
Menyala-nyala. Lalu tegak memberanikan diri di atas sepasang kaki yang
gemetar.
Laju
motor usang tanpa spion terus menyusuri amukan debu. Mesin bututnya meraung. Keburaman
kabisat waktu mengikuti dalam helai-helai lidah matahari. Setiba di pintu masuk
yang terhalang portal besi, sebuah pos penjagaan mematahkan perjalanan.
Beberapa lelaki tengah baya dalam tatapan sangar menghujam setajam
pedang. Menelisik setiap orang yang hendak melintas dengan kecurigaan
yang lebih tajam dari samurai.
Mereka
duduk berderet menempati sebuah bangku kayu, menghadap ke jalan masuk.
Kusam tanpa seragam. Pada bagian depan pintu pos penjagaan, sebuah
tulisan papan tanpa car merentang di atas tonggak mati. Dengan kata-kata
provokatif yang akan mengusik siapa pun yang melintas:
UNTUK
TANAH INI, KAMI RELA MATI!
Demi
angin yang terus berhembus.
Sesekali
para penjaga tampak menghela napas. Parang besar yang berkilat terdekap dalam
pelukan. Hal yang membuat bulu kudu siapa pun akan berdiri seolah terjebak
bayangan hitam paling menakutkan.
Tak
jelas pula apa yang membuat tulisan itu terpampang begitu gegap. Tak terekam
untuk siapa dia tercipta. Tapi ketika perempuan muda itu
melintas, satu dari empat lelaki bergegas membukakan pintu portal sembari
melempar sebuah senyum di terik bara.
“Semoga
saya tak salah. Sepertinya Bu Guru hanya sendirian hari ini?”
Perempuan
yang disapa tersenyum kecil. Sama sekali ia tak memanfaatkan kata-kata miliknya.
Hanya tersenyum.
Pada
saat yang sama ketiga orang penjaga yang lain bergegas menyambut. Lalu salah
seorang kembali bertanya.
“Apakah
Pak Simin sedang sakit, Bu Guru?”
Perempuan
itu menggeleng, tersenyum.
“Hari
ini di sekolah ada tamu penting. Sepertinya dari Dinas Penddidikan. Karena itu
beliau tidak mendapat izin kecuali senja nanti!” Bu Guru itu menghela
napas. Membenahi ujung jilbabnya yang terkibas dihentak angin.
“Permisi,
Pak!”
Denting
suara klakson memekik. Senyumnya kembali terulas.
“Hai-hati
di jalan, Bu Guru!”
Tiga
penjaga membungkuk memberi hormat. Lalu bergegas membuka pintu portal, menarik
napas dan tersenyum lagi.
Armada
panas kemarau terus mengepung di sepanjang tanah gersang. Laju sepeda motor
yang telah kehilangan kecepatan menerobos agak terseok. Terik tak lagi sempat
dia rasakan. Dan dia baru menghentikan gas setelah tiba di sebuah gubuk
panjang tiga ruangan.
Warga
Register menyebut gubuk yang berdiri tegak di jantung pemukim itu sebagai
tempat belajar. Deretan pemukiman yang berdiri di sekiarnya adalah pengawal
yang tak pernah rela meninggalkan. Dari sana mereka berharap semua akan berubah
suatu hari kelak.
Bangunan
itu amatlah sederhana. Dindingnya terbuat dari papan bekas yang
berkombinasi belahan-belahan bambu. Beberapa potongan kayu sebesar lengan orang
dewasa terpasang di sela-sela dinding, tanpa aturan. Di paku sekenanya.
Atap
anyaman ilalang tertata di bagian kuncup. Nampak begitu kasar sebab terkesan
dikerjakan asal jadi. Jendelanya yang tanpa ornamen hanya ditutup beberapa
bilah bambu yang di belah selebar tiga jari hingga tampak merongga-rongga.
Di
hadapan bangunan itu, terhampar halaman kering yang licin tanpa rumput liar.
Pada sisi paling tengahnya, sebuah tiang bendera terpancang menjulang bak
tombak pusaka. Gagah menentang langit biru. Tercongak menatap terik.
Tiang itu menjadi satu-satunya tempat paling nyaman bagi sebuah sebuah bendera
usang yang terus berkibar tiada jeda. Seolah hendak menjadi saksi atas
dilema getir yang tak kunjung surut di tanah ini.
Beberapa
bocah berkerumun membentuk kelompok bermain di sudut-sudut halaman. Anak-anak
perempuan saling melompat tali dan tertawa, sedang para bocah laki-laki
berkejaran tak berlelah.
Saat
perempuan muda itu tiba, kerumunan bocah segera membubarkan diri. Berhamburan
menghampiri untuk berebut mengulurkan tangan. Tak ada yang mereka
inginkan kecuali menyalami jemari sosok anggun yang baru tiba, lalu menciumnya.
Dua
bocah berpostur kecil mendekat susah payah. Keduanya ingin melakukan hal yang
sama tapi tak pernah kuasa mewujudkannya.
“Bu
Siti datang! Bu Siti datang!”
Perempuan
itu pun tertegun. Matanya yang tajam menatap dua bocah yang terus menerobos
kepungan. Dia lalu mendekat.
“Bu
Siti! Bu Sitiii!”
Pemilik
mata sebening anggur terus melompat-lompat. Girang seolah sudah menemukan
mainannya yang hilang. “Gendoong...” Lalu anak itu berucap manja.
“Pipit
dan Sari nggak bisa menerobos kakak-kakak, ya? Kasihaaaan.”
“Bu
Sitiii…!”
Keduan
tangan bidadari kecil itu merentangkan.
“Huuf!”
Bu Siti mendekap. Mereka saling tatap lalu tertawa. “Sekarang, ayo kita masuk
kelas!”
Siti
Az-Zahrah Mutiara, S.Pd. Begitu nama lengkap perempuan muda ini. Laki-laki yang
menjadi suami dan telah memberinya seorang bidadari usia lima tahun adalah
Simin. Seorang penjaga sekolah honorer yang sudah menisbatkan diri lebih dari
seperempat abad di sebuah SMP Negeri. Tak jauh dari rumah mungil mereka
yang masih menumpang.
Dulu,
belasan tahun sebelum Siti menjadi pendampingnya, laki-laki lugu itu
sebenarnya pernah di angkat mejadi Pegawai Negeri Sipil berstatus Staf
Tata Usaha. Tapi entah mengapa, ketika SK pegawainya hendak diambil,
secara mengejutkan pihak terkait menyuguhkan semacam negosiasi yang membuatnya
panik setengah mati. Sebab ujung dari tawaran itu adalah kewajiban atas
sejumlah uang yang harus ia siapkan sebagai jaminan. Celakanya, jumlah tersebut
sama sekali tak sebanding dengan semua harta yang di miliki Simin. Seorang
tenaga honorer yang hidup pun masih menumpang di salah satu bangunan gudang
sekolah yang tak terpakai.
Maka
begitulah.
Hari-hari
setelah itu adalah sejarah paling buruk dalam hidupn Simin. Lebih dari setahun
nasibnya terombang-ambing bagai kibasan raket dalam Olimpiade. Sesekali
tarayun ke atas, di waktu yang lain terkulai ke tanah. Dia di pim-pong bagai
mainan. Harus berolak-balik Mesuji-Bandar Lampung hingga keringatnya seolah
mengering.
SK itu
benar-benar lenyap dan Simin harus merelakannya. Orang-orang pintar yang amat
mengerti bagaimana memperlakukan kebodohan,
menjadikan ia macam tontontan. Pada kenyataanya, hak laki-laki berbadan kurus
itu tetap tak dapat tertolong dan raib di telan bumi.
Ada
air mata yang tersedu di malam saat peristiwa itu pertama kali disadarinya. Air
mata yang membasuh sajadah usang dalam munajat panjang di dua pertiga malam
yang senyap. Sungguh. Air mata itu sama sekali tak mengerti bahwa,
mempertahankan hak di zaman merdeka adalah sebuah jurang terjal.
Tak
ada alunan dendam dalam bait munajat sedu-sedan yang ia
tuturkan di tengah pekat gulita tanpa rembulan ketika itu. Simin hanya
tahu, dia memang harus mengadukan semua luka itu pada Dzat Yang Maha
Sempurna. Hatinya teriris.
“Tuhanku,
asal Engkau tak marah kepadaku. Juga asal aku tak membuat-Mu
murka karenanya. Aku ingin segala perlakuan ini menjadi kebaikan bagi
mereka yang tak pernah mengerti betapa sakitnya ketidak berdayaan. Aku
sungguh marasakan itu dan benar-benar tak kuasa menahan sakitnya. Tapi
aku sadar, ya Rabb. Ini pasti keputusan terbaik yang telah Engkau
suratkan bagi sepenggal perjalanan hidupku. Jalan yang memang dengannyalah aku
dapat merengkuh-Mu
dalam segenap daya.
Engkau
mengetahui getaran setiap hati yang berdetak di antara kami hamba-Mu, wahai
Dzat Pemilik Semua Rencana. Maafkan aku karena aku ingin Engkau memaafkan
mereka seluas samudra. Sebab jauh sebelum itu, aku telah membuka
pintu maaf ini seluas yang aku bisa. Aku tiada daya, Ya Tuhan.”
Itulah
sepenggal episode paling membekas yang tak akan pernah hilang di benak Simin
bahkan hingga mati. Episode yang menurut sebagian orang adalah kebodohan
karena dianggap tak mampu mengikuti kehendak zaman.
Dan
ketika Siti menjadi bagian dari sekolah itu beberapa tahun kemudian, keteguhan
sikap Simin itulah yang meluluhkan hatinya. Gadis itu sama sekali tak ragu
untuk menjadikannya belahan desah napas meski usia mereka terpaut jauh.
“Pinang
aku dengan tekadmu, Mas!”
Begitu
ujar Siti kala itu dan mereka akhirnya benar-benar menikah.
Bersama
suaminya, keputusan untuk menjadi guru relawan di tanah larangan sempat menjadi
perdebatan panjang. Simin sama sekali tak menyetujui karena ia tahu, itu adalah
wilayah yang tak akan pernah mendapat restu negara.
“Itu
daerah larangan, Bu. Hutan Register. Apa pun alasannya pergi ke sana bukanlah
hal yang tepat. Salah-salah Ibu akan dianggap sedang mempermalukan dunia
pendidikan.”
“Dan
Mas adalah provokatornya, begitu?”
Simin
Mendesah. Ekor matanya menatap tajam. Kepalanya menggeleng.
“Sama
sekali bukan itu, Bu. Percayalah, ini berbeda dengan apa yang Ibu bayangkan.”
“Hidup
kadang tak banyak memberi kita pilihan, Mas. Mungkin kita bisa
mempertimbangknnya pada sisi yang berbeda.”
“Sisi
berbeda?”
Perempuan
itu mengangguk.
“Kadang,
semua bermula dari sudut pandang, Mas. Bagiamana kita melihat sesuatu dan
meyakininya. Kita bukan hendak menjadi perambah. Sungguh ini adalah dua hal
yang sangat tak sama!”
Simin
diam sejenak. Kedua matanya terpejam. Lelaki itu berusaha memahami dan
dia akhirnya mengerti.
“Apakah
jalan ini akan membuat Ibu tentram?”
Zahra
mengangguk. Pandangannya terghujam pada wajah tirus yang kini berada
tepat di hadapan. Sesaat tampak ia menerawang amat panjang. Jauh. Menembus dan
melampaui batas yang semestinya ditundukan.
“Sejak
kecil menjadi guru adalah cita-citaku, Mas. Karena itu tak ada hal yang membaut
aku menderita kecuali ketika melihat sekumpulan bocah yang menginginkan
aku hadir tapi aku tak ada di sana. Mas tahu kenapa?”
Simin
menggeleng.
“Karena
bocah-bocah itu juga memiliki hak yang sama dengan bocah-bocah lain, Mas.
Cita-cita tak pernah menghalangi mereka untuk menjadi generasi terbaik di
masanya. Tugas guru adalah mendekatkan cita-cita itu. Memungkinkan segala hal
agar mereka bisa lebih cepat mencapainya. Tapi aku tak akan memaksa jika Mas
keberatan. Percayalah, aku akan berusaha memahami itu.”
Mulut
Simin terkatup. Sudut matanya menatap perempuan lembut yang masih
terpaku. Sesekali kepalanya menggeleng-geleng. Seakan tak ingin memercayai apa
yang ia dengar.
Hening
membalut kaki malam. Detik-detik waktu melangkah agak sengsara. Keduanya lalu
terhanyut dalam gurat pikiran dan angan masing-masing. Tak lama, terdengar
suara laki-laki bergetar memecah sunyi.
“Ibu
yakin dengan keputusan ini?”
Dalam
senyum, kepala Siti berulang mengangguk. “Sebagaimana aku juga yakin
bahwa mentari akan terbit di ufuk timur, Mas.”
“Kalau
begitu sebaiknya Mas berpikir ulang. Mungkin akan lebih baik jika kita
melakukannya bersama-sama. Apakah Ibu sepakat?”
Ujung
mata Siti berkeca-kaca. Perempuan itu segera mendekap suaminya erat-erat.
“Terimakasih, Mas. Terimakasih!” bibirnya bergetar.
Simin
sebenarnya tak pernah lagi dihantui prasangka buruk setelah malam itu. Karena
baginya, apa yang telah diputuskan adalah hal terbaik yang memang harus mereka
lakukan. Kecuali hari itu. Saat sebuah berita pengosongan paksa tanpa sengaja
terdengar dari perbincangan para guru. Angannya seketika
berserak. Benaknya menjadi gelisah.
Yang
terasa sangat menyiksa adalah karena hari itu ia tak dapat menemani Siti.
Sekolahnya sedang mengadakan serah terima Kepala Sekolah dan ia adalah petugas
kebersihan satu-satunya.
Hingga
akhirnya sebuah pesan singkat mengejutkannya. Dada Simin bergetar. “Maaf,
Mas, aku belum bisa pulang. Semua jalan masuk dijaga begitu ketat.
Anak-anak masih berkumpul di halaman sekolah. Orang tua mereka sudah
berhamburan entah ke mana. Tempat belajar itu kini penuh sesak oleh
warga yang tempat tinggalnya di hancurkan. Sepertinya mereka akan tetap berada
di sini sampai semua menjadi jelas. Bocah-bocah ini hanya korban, Mas.
Aku harus tetap di sini untuk memastikan kalau semua baik-baik saja!”
Tubuh Simin limbung. Detak jantungnya bertabuh
tanpa irama. Sesaat kemudian pandangannya berubah menjadi sembab.
Komentar
Posting Komentar